Pagi hampir datang, kubuka mata dan kusiapkan segantang semangat untuk membuka lembar baru. Kuintip jendela, kulihat embun mulai berkemas akan meninggalkan pucuk daun yang telah memberinya tumpangan. ” Kau mau kemana ” tanyaku ingin tahu. Sang embun menghentikan kesibukannya, sembari tersenyum dia berkata, ” aku harus pergi, mentari akan datang sebentar lagi.” Aku tertegun. ” Apa kau membenci mentari? Dia telah membuatmu bersusah payah pergi tanpa tujuan pasti. Embun menggeleng. “ Kami saling mencintai dan merindukan, meski sekalipun aku tak pernah melihat wajahnya yang indah. Dia mengajarkanku untuk berbagi dan menghargai. Ketika malam tiba, dia rela bersembunyi di balik gunung untuk memberiku kesempatan merasakan nikmatnya tidur di ujung dedaunan, terayun-ayun dinina bobokan. Sebaliknya ketika fajar hampir menjelang, aku berkemas. Karena aku tak ingin dia menahan penat seharian bersembunyi di balik bebukitan. Kadang ketika aku terlambat bangun dia bersembunyi di balik mendung, hingga aku terjaga dan menyadari bahwa pagi telah tiba. Sebenarnya aku ingin bertemu dengannya, sekedar mengucapkan terimakasih atas kebaikan yang dia beri selama ini. Namun dia melarangku, dia berkata jika aku memaksakan diri bertemu dengannya, aku hanya akan menjadi uap air dan menguap begitu saja ke angkasa. Aku sungguh mencintainya meskipun sekalipun aku belum pernah melihatnya,” si embun berkata dengan binar matanya. Aku takjub, menahan haru yang menyeruak dada.
Mentari mulai meninggi, sang embun pun segera pergi. Aku melangkah keluar rumah. Kugerakkan badan sembari mengamati sekeliling. Aku melihat pohon mangga masih tertidur dengan pulas. Sementara benalu yang bertengger di dahan-dahannya dengan rakus mengambil sari makanan yang telah dia siapkan” Hei, kau jangan rakus, ” teriakku. Benalu berhenti mengunyah, dia melirikku. ” Mengapa kau mau enak saja? Tak mau bekerja tetapi hanya menumpang di rumah orang,” ujarku geram. ” Si benalu mulai angkat bicara, ” Tau apa kamu tentang aku dan si mangga. Kau tahu? Dia bisa sampai pulas seperti ini karena aku yang selalu mendongengkan sebuah cerita untuknya. Kau tahu? Dia sering insomnia. Sering dia menangis di tengah malam karena tak ada kawan yang sanggup terjaga. Hingga aku datang mengunjunginya, dia merasa sangat bahagia. Dia tak ingin aku pergi. Buktinya dia tak pernah sekalipun mengusirku. Malah setiap lilitan ku disambutnya dengan mesra.” si benalu menjawab dengan begitu acuhnya lalu meneruskan sarapannya. Tak peduli dengan diriku yang masih menatap mereka dengan heran. Aneh, begitu pikirku.
Aku mulai melangkahkan kaki. Ingin segera mandi. Namun, lagi-lagi aku menatap nanar sang ulat yang bertengger manja di daun mawar yang hampir berbunga. Sembari menghirup udara pagi yang menyejukkan dia mengikis sedikit demi sedikit daun yang dia tempati. ” Hei, ulat tak tahu diri. Mengapa kau tega menghabisi mawar yang memberimu tumpangan. Tak tahu balas budi, ” seruku pilu. Sang ulat terbelalak, lalu tersenyum. ” Taukah kau wahai manusia. Mawar memang baik hati dan aku mengakuinya. Ketika aku linglung berjalan tak tentu arah, dia mempersilahkan aku tinggal di rumahnya yang mewah. Dia ijinkan aku untuk menikmati sepuasnya daun yang dia punya. Aku benar-benar terharu. Tapi bukan berarti aku tak tahu balas budi. Aku hanya perlu waktu untuk dapat membalas kebaikannya. Aku juga tidak terus-menerus menjadi parasit untuknya. Jika telah tiba saatnya aku akan menjadi ulat yang dewasa. Di mana saat itu aku telah siap untuk bersemedi. Jika lulus ujian, aku siap bermetamorfosa menjadi kupu-kupu yang menakjubkan. Dengan sayapku aku akan membantu perkawinan antara benang sari dan putik sang mawar sehingga dia bisa mempunyai keturunan. Mungkin apa yang aku lakukan tak bisa membalas apa yang dia berikan, tapi memang hanya itu yang bisa aku lakukan. Dari hati yang terdalam,” sang ulat menatapku tajam. ” Terserah jika kau tak percaya,” ujarnya kemudian.
Aku terdiam. Tanpa kata. Embun dan mentari tak pernah bertemu tetapi saling merindu. Benalu dan pohon mangga menciptakan sebuah elegi untuk saling melengkapi. Ulat dan mawar, saling memberi dan berbagi dengan cinta dan ketulusan. Bagiku mereka adalah ” pengantin semesta” yang tak terpisahkan. Pengantin semesta didikan alam. Yang tercipta bukan untuk saling menyalahkan. Namun, tercipta untuk saling mengisi dan melengkapi. Mereka mampu mensyukuri apa yang ada di sekeliling mereka. Karena mereka percaya bahwa Tuhan menciptakan umatnya tidak untuk hidup seorang diri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar